Yo yo yo... eyoo... am bek :v
Sorry gaes lama ga update, soalnya lg banyak les dan pr (ಥ_ಥ) maklum akoeh sma :')
Jadi ya itu.. mau update lagi tapi males, anak cewek emang kebanyakan magernya ya?? WOAKAKAKAKAK
Jadi kira kira kalo tambah entri lagi tentang fanfic lain ada yg mau?? Heheh ngetik banyak fanfic tapi ga di pos pos (;∀;)
Ga usah pake lama, kita cus aja yaw 'w')///
CHAPTER 3
Kali ini jalan yang ku lalui dengan Casey cukup mudah untuk di ingat, bahkan aku membuat petanya di buku note. Tiba di Nie Wissen Casey mengajakku untuk berkeliling di universitas Nie Wissen, dan memperkenalkanku pada salah seorang dosen di universitas itu. Aku tentu saja menerimanya dengan senang hati, apa lagi melihat banyak mahasiswa yang dari wajahnya terlihat begitu smart dan cool.
Pertama dia mengajakku untuk melihat kelas yang lusa akan ku tempati.
Casey membuka pintu. “ini dia kelasmu lusa nanti”
“kelas yang sangat luas, lebih luas dari universitas di Doisienan” pujiku yang terkagum-kagum.
“ada kurang lebih lima belas Negara dari universitas yang berbeda-beda. Jadi, lusa nanti. Kelas ini pasti akan penuh”
“oya cas? Ngomong-ngomong kau juga masuk univ Niwis kan? Boleh ku tahu jurusan apa?” tanyaku yang saat itu penasaran.
Casey menjentikan jarinya. “aku lupa hal itu. Aku jurusan sains, dan sekarang aku di tahun ke tiga”
Artinya dia lebih senior di bangingkan aku.
“tahun ke tiga? Pantas saja kau hapal seluk beluk kota ini cas”
Kami lanjutkan ke perpustakaan Niwie, wah. Ada tiga lantai, bahkan hanya untuk sebuah perpuastakaan. Aku yakin di sini pasti menyimpan banyak sekali sejarah kota ini dan kota-kota lainnya di dunia. Aku sangat takjub sampai-sampai tidak mengedipkan mataku. Casey menuntunku ke lantai dua perpustakaan itu dan bertemu dengan seseorang.
“hai cas? Bagaimana kuliahmu hari ini?” Tanya laki-laki itu.
Casey menaikkan bahunya. “aku tidak ada jadwal kuliah hari ini Mr.Gray. oya aku lupa, dia ken murid baru dari Doisienan”
Aku menjabat tangannya yang gemuk itu. “hai aku Keena Tomoko dari universitas Doisienan, dan..?”
“Mr.Gray.. Mr.Grayon, panggil saja Mr.Gray. aku mengajar mata kuliah sejarah” katanya seraya memperkenalkan diri.
“oh Mr.Gray? aku masuk jurusan Sains, dan aku mungkin bisa bertanya denganmu saat selesai kuliah? Yah. Tentang seluk beluk kota ini aku yakin di kota ini banyak misteri yang belum di ketahui siapapun”
Mr.Gray menutup bukunya dan meminta kami duduk.
“tentu saja Keena, kota Wonkreven ini menyimpan banyak sejarah dan kau harus mengetahuinya” ledek Mr.Gray.
Aku melihat arlojiku. Astaga. Sudah pukul tiga sore, aku harus segera menghubungi mom. Kalau tidak dia pasti akan khawatir padaku, tapi aku belum pernah melihat mom sangat, dan amat cemas. Secemas-cemasnya mom padaku, dia hanya mengirimku pesan berisikan bahwa dia akan menjemputku.
Aku berbisik pada Casey, aku memintanya menemaniku membeli nomor kota ini. Casey setuju dan kami pamit pada Mr.Gray, syukur Mr.Gray waktu itu sedang senggang. Jadi, kami tidak mengganggu waktu istirahatnya.
Kami pergi ke toko dan membeli nomor telpon Wonkreven. Setelah ku aktifkan aku langsung membuka kontak dan memanggil nomor mom.
“halo mom?” kataku mengawalinya. “ya mom, aku sudah sampai. Ya ini nomorku, aku mulai kuliah lusa. Sudah kok, aku sudah lihat asramanya, bagus sekali loh mom. Oke mom, tentu. Bye”
Casey memperhatikanku dari tadi. “bagaimana? Apa mom-mu sudah tau?”
Aku menutup handphone-ku, menaruhnya kembali ke dalam tas.
“ya, mom-ku sudah tau” seruku.
Kami kembali ke Reven White House, Casey mengantarku pulang. Katanya besok dia akan datang lagi dan mengajakku mengelilingi Wonkreven. Sebelum berpisah aku meminta nomor telpon Casey, mungkin saja aku memerluknnya dalam keadaan darurat, bisa di bilang untuk berjaga-jaga.
Aku memang masih belum terbiasa di sini, Casey pun mengingatkannku untuk selalu mengunci pintu. Katanya terkadang pelayan asrama ini suka mengambil barang-barang para mahasiswa yang tinggal di sini sementara waktu. Memang sih aku tidak membawa barang-barang berharga, untuk apa juga aku membawanya? Aku bukan ingin pergi ke pesta di istana untuk bertemu pangeran ataupun ber-dansa dengannya.
Well, aku ini sangat anti dengan pesta. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca selama berjam-jam di perpustakaan daripada harus pergi ke pesta.
Tepat pukul delapan malam perutku sudah lapar, meminta makan yang banyak. Aku ingat dari tadi siang aku belum makan apapun, karena keasyikan mengelilingi Nie Wissen. Ku putuskan untuk pergi ke sebuah restoran dekat RWH (Reven White House), setelah ku kunci pintu kamarku, aku menitipkannya pada penjaga kamar di sana. Soalnya yang ku lihat dari tadi banyak mahasiswa yang menitipkan kuncinya di sana.
Di luar sini sangat dingin, untungnya aku membawa syal kesayanganku. Handphone-ku bordering. Oh, dari mom. Ia mengirim sebuah pesan. Isinya menanyakan apa aku sudah makan atau belum. Ku balas pesan dari mom, jawabnnya tentu belum.
Aku sudah berjalan cukup lama, yang ku lihat dari tadi hanya rumah-rumah besar, tidak ada tanda-tanda restoran berada. Aku tiba di sisi jalan yang gelapnya bukan main, hanya di terangi oleh cahaya bulan. Aku yakin ini jalan yang benar, pikirku yang masih terus jalan tanpa memperdulikan sekitar.
Setelah berjalan kurang lebih selama tiga puluh menit, aku berhenti sebentar. Ku lihat ke kanan, sebuah rumah besar. Sangat besar, lebih besar dari RWH. Ini tampak seperti sebuah istana pada jaman dulu, dan aku yakin istana ini pasti sangat berperan penting. Dari deretan rumah lain hanya istana ini yang tidak di ubah, struktur bangunannya masih tampak antic dan kotor.
Bagaimana tidak? Rumput, ilalang, dan tanaman merambat lainnya sudah mengelilingi rumah atau istana itu. Seram? Pastinya, jalanan gelap dan di tambah rumah itu jadi semakin gelap dan menambah seram jalan itu. Memang sepi sih, jarang sekali kendaraan yang lewat.
Aku memutuskan mengabaikannya dan kembali mencari restoran. Perutku semakin protes. Di depanku juga ada seorang perempuan yang berhenti dan melihat rumah itu. Aku penasaran, mungkin dia tau rumah itu.
“halo? Kau tau rumah ini?” tanyaku.
Dia sedikit kaget melihatku. “ku kira siapa.. tidak, aku tidak tahu hanya ingin melihat dari dekat”
Ku lihat kembali rumah itu. “yang ku yakinkan pasti rumah ini sangat penting sampai tidak ada yang menghancurkannya”
“menurutku juga begitu” katanya sambil melewatiku.
“eh, tunggu. Kau tau restoran dekat sini?” kataku menghentikannya.
“restoran? Jalan saja terus di sana ada banyak” jawabnya menunjuk lurus.
“thanks” singkatku.
Akhirnya aku temukan sebuah restoran yang membuatku tertarik, aku ingin mencicipi hidangan itu. Rasa penasaran terus mengelilingi kepalaku, berita bagus kalau rasanya enak. Tapi berita jelek jika rasanya aneh.
Aku mengambil hidangan dengan acak, tidak peduli Apptizer, main course, atau dissert. Jika menurutku itu enak maka aku akan mengambilnya.
Sudah ada tiga piring di mejaku, mulai dari piring sebelah kanan, tengah, lalu kiri. Tanpa peduli sekitar aku terus melahap semua hidangan itu. Handphone ku berbunyi lagi. Oh, dari Casey. Dia Tanya aku makan malam dimana, tulisan restoran ini terlalu sulit untuk di baca.
“ba-are-mi---kwoiyeoi—enyo” kataku. “nama restoran aneh, tapi makanannya sangat enak”
Aku kembali menikmati makan ku.
CHAPER 4.
Ku jatuhkan diri ke kasur empuk itu, sambil menatap langit-langit. Pikiranku kosong. Ku bangkitkan lagi diriku, baru teringat. Kalau aku belum sama sekali membereskan baju-bajuku. Aku penasaran sedang apa mom disana? Biasanya jam 10 ini mom dan aku masih terjaga, ini bukan hal baik yang seharusnya dilakukan oleh anak dan ibunya. Tapi memang kami biasanya seperti itu, masih menonton film sambil makan cemilan.
“aku harap disini masih ada harapan” kataku yang hampir putus asa.
Ku tutup mataku saat itu juga aku langsung pulas. Belum menyentuh sedikitpun baju di koporku.
Paginya, Wonkreven memang sejuk. Di lorong sudah banyak mahasiswa yang siap untuk olahraga ataupun berangkat kuliah. Ini masih belum waktunya berangkat, masih tersisa satu hari lagi kok. Ku putuskan pagi ini untuk olahaga, meskipun hanya sekedar jogging.
Ku ikatkan tali sepatuku. “yak! Ayo mulai”
Aku tidak turun menggunakan lift, tapi kali ini tangga. Terdengar jelas suara cicitan burung pagi hari. Aku yakin pagi ini akan cerah. Ku titipkan kunci kamar pada penjaga. Lalu melanjutkan jogging. Kali ini aku akan mengambil rute jalan yang berbeda, dan menarasakan bagaimana rasanya tersesat. Jujur, aku belum pernah tersesat sama—sekali.
Aku sudah berlari cukup jauh, tenggorokan ku sudah mulai kering. Cukup di sini dulu, aku akan istirahat dan meneguk sekaleng minuman dari mesin minuman itu. Bayangkan di saat dehidrasi kau meminum sekaleng minuman dingin. Pasti terasa sangat segar.
Aku memasukkan koin. Menekan tombol nomor minuman yang ku inginkan. Minuman itu jatuh lalu aku akan mengambilnya. Aku harus jongkok baru bisa mengambilnya. Begitu ku raih kaleng minuman itu.
“permisi? Apa kau sudah selesai?” Tanya orang di belakangku menunggu gilirannya.
Ku tengok dia. “oh. Maaf, aku sudah selesai, silahkan” kataku menjauh dari depannya.
Dia hanya membalas dengan senyuman manis. Lalu memilih minuman yang dia mau. Kopi? Apa itu pilihan yang bagus untuk pagi ini? Pikirku. Mataku bukan tertuju pada minumannya tapi pada tasnya yang terdapat pin bertulisan Nie Wissen. Dia juga kuliah di sana?
“maaf?” kataku membuka obrolan kami. “apa kau mahasiswa Nie Wissen?”
Dia meneguk minuman yang terakhir, lalu membuangnya. “Niwis? Ya tentu, kenapa?”
Mataku berbinar melihatnya. “sungguh? Aku yakin kau sudah lama di sana!”
Ia menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan keheranan melihatku. “lama? Bukan.” Katanya melambaikan tanggannya dengan arti TIDAK. “aku baru saja tiba di sini, lagi pula jadwal kuliahku besok”
“besok!? Wah berarti kau juga murid beasiswa ya? Aku juga baru mulai besok, dan ngomong-ngomong—kau ambil jurusan apa? Ku dengar banyak mahasiswa beasiswa kebanyakan dari jurusan IPS”
Dia menggeleng. “bukan, bukan, aku jurusan sains”
“aku juga” seruku gembira. “aku Keena Tomoko dari Doisienan” kataku memperkenalkan diri.
Ia menjabat tanganku. “Jac—Jac Sullivan, dari Scotlandia—dan aku bukan rocker oke?” dan melepasnya kembali. “jadi--? Namamu Tomoko? Apa kau punya keturunan darah jepang?”
“setengahnya sih, ayahku orang jepang. Katanya Tomoko artinya anak baik” aku terkekeh.
“dan—kau di ruangan berapa nanti?” Tanya Jac sambil melihatku.
“ruang 1” singkatku.
Wah ternyata Jac ramah juga.
Jac beranjak. “kalau gitu kita satu ruangan, dong?”
“kira-kira ada berapa murid ya dalam satu ruangan? 20, 30, 35?” nomor trakhir ku ucapkan dengan pelan.
“lima puluh orang Ken” katanya cepat-cepat.
Aku menaikkan bahuku, sepertinya aku kaget mendengar mahasiswa sebanyak itu dalam satu kelas.
“sungguh?” saat ini aku benar-benar tidak percaya.
“iya.” Ujarnya, Jac langsung meraba saku celananya dan mengambil ponsel-nya. “gawat sudah pukul sembilan pasti Mr. Grayon sudah menunggu”
Tunggu tadi Mr. Grayon katanya?
“bye Ken, kita bertemu besok” katanya mengakhiri obrolan dan pergi.
Aku hanya membalas dengan lambaian tangan. Hanya lambaian kecil. Yang ku perhatikan dari Jac, dia sepertinya suka terburu-buru. Aku yakin di kelas besok dia akan terlambat. Sudahlah, yang ku butuhkan sekarang hanya melanjutkan jogging-ku dan pulang dan juga sarapan.
Jalan pulang-pun aku merubahnya kembali. Tapi yang ada, aku malah tersesat sampai ke stasiun kereta. Bukan stasiun yang lusa aku tiba dengan Casey, stasiun ini berbeda. Sangat sepi pengunjung. Tapi masih ada beberapa orang yang menggunakan tansportasi umum ini, sejauh ini yang ku lihat. Hanya orang tertentu yang masih menggunakan kereta ini, seperti memakai baju tradisional Wonkrevan.
Aku berhenti sebentar dan menepi, pandanganku teralihkan oleh sebuah boneka. Aneh. Di tempat seperti ini mana mungkin ada yang membuang boneka ini. Terlihat begitu klasik, seperti dari pertengahan abad. Ku putuskan membawa boneka itu ke kamarku.
Namun sebelum ku taruh di atas lemari, aku memperhatikan boneka itu baik-baik. Mulai dari kepala hingga kakinya, bajunya pun masih sangat bagus. Rambutnya ikal dan di kuncir dua, ya. Sangat klasik.
Kenapa boneka ini di buang? Apa pemiliknya tidak peduli?
Ku telpon Casey, mungkin dia tahu sedikit tentang boneka ini. Karena menurutku boneka ini terlihat sangat penting.
“halo? Cas, apa kau sibuk?” tanyaku masih melihat boneka itu.
“tidak, ada apa Ken?” suara Casey terdengar kecil, sepertinya dia masih berada di kelasnya.
“syukurlah ada beberapa hal yang ingin ku perlihatkan dan ku tanyakan padamu” kataku.
“oke sore nanti aku akan ke RWH, bye Ken dosenku sudah tiba” katanya menutup telpon.
Tinggal menunggu Casey datang, pertama-tama aku harus merapihkan baju-baju di koporku dulu. Lagi pula ini masih pukul sebelas.
Yaaaap sampe sini dulu yaaaaa~ pegel ngeditnya 〒▽〒 sebulan lagi update.. lama amat :v (?) Ya jangan sampe sebulan lah, paling dua bulan ( ̄∀ ̄)
Kalo ada kritik dan sarah soal nopel abal ini, silahkan aku rela di komen dan kritik pedes :'3
Hahaha, ga kerasa ngeditnya samps sejam. Yoyoyo~ saya pamit dulu jaa----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar